Kamis, 04 Juni 2009

Potret Dinamika Gerakan Mahasiswa Kontemporer

POTRET DINAMIKA GERAKAN MAHASISWA KONTEMPORER

Oleh : Maria Ulfah

Fundamentalisme Islam Indonesia memiliki ciri khas yang sangat jauh berbeda dengan fundamentalis Islam di negara lain seperti Pakistan ataupun negara-negara timur tengah, antara lain dekatnya hubungan mereka dengan kalangan pemerintahan maupun militer, padahal fundamentalisme Islam di negara lain rata-rata menjauhinya bahkan melakukan konfrontasi secara terbuka, hal lainnya adalah gerakan-gerakan fundamentalis Islam Indonesia tidak berakar maupun berkembang di kalangan ulama maupun santri.

Hubungan gerakan Islam dengan pemerintah yang didukung militer selama masa orde baru mengalami masa pasang surut. Pada awal kebangkitan orba, militer mendapat dukungan baik dari kalangan mahasiswa maupun kalangan Islam yang sakit hati terhadap PKI, bahkan militer melatih dan mempersenjatai laskar pemuda Islam terutama dari kalangan NU dan Muhammadiyah untuk menghancurkan basis-basis PKI, laskar ini kemudian berubah jadi Banser dan KOKAM yang merupakan laskar sipil tidak bersenjata di lingkungan NU dan Muhammadiyah saat ini.

Tapi ketika militer memperoleh kekuasaan , kelompok Islam mulai dipinggirkan , Masyumi gagal untuk diterima kembali menjadi partai politik dan akhirnya membentuk Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) sebuah organisasi dakwah Islam militan yang dikenal sebagai think tank kelompok-kelompok fundamentalis. Organisasi ini tidak mengenal tradisi kartu tanda anggota (KTA) untuk memudahkan pergerakan mereka.

Hubungan kelompok Islam dengan pemerintah memanas dalam pembahasan RUU Perkawinan terutama menyangkut pasal 11 ayat 2 yang membolehkan pernikahan beda agama. RUU ini ditanggapi dengan walk out nya anggota dewan dari PPP dan diikuti oleh penyerbuan dan pendudukan gedung dewan oleh massa dari sejumlah ormas kepemudaan Islam. LetJen Soemitro mengambil inisiatif dalam krisis ini dan berhasil membuat kesepakatan dengan para ulama dan menghilangkan sejumlah pasal yang dianggap merugikan ataupun bertentangan dengan syari'at Islam, yang kemudian ditandangani oleh Soeharto.

Langkah ini menimbulkan kemarahan dari kelompok seterunya yaitu Ali Moertopo yang kemudian dicurigai merekayasa peristiwa Malari dengan melibatkan kelompok Islam buatan BAKIN yaitu GUPPI. Dari peristiwa peristiwa inilah dimulai operasi-operasi intelejen untuk menyusup bahkan menciptakan kelompok-kelompok fundamentalis. Walaupun pemerintahan Soeharto adalah pemerintahan militer tapi semasa rezim Soeharto kekuatan militer secara riil tidak begitu diperhatikan , belanja militer semasa rezim Soeharto sangat sedikit dan jarang dilakukan sehingga dari segi peralatan tempur jumlahnya menurun drastis dari masa rezim sebelumnya yang bahkan pernah tersohor sebagai salah satu negara dengan kekuatan udara dan laut terkuat di dunia (yang pada masa awal orba sebahagian besar discrap) begitu pula dari segi kesejahteraan prajurit sangat memprihatinkan.

Akan tetapi Soeharto memberikan dana tak terbatas kepada aparat- aparat intelejen untuk melakukan intimidasi dan rekayasa untuk menjinakkan kekuatan-kekuatan oposisi ataupun yang berpotensial untuk itu. Puncak perseteruan dengan kelompok Islam terjadi pada peristiwa priok, yang menurut sejumlah kalangan hanya dijadikan tumbal untuk mendapatkan dana bantuan/pinjaman luar negri karena setelah peristiwa tersebut pinjaman luar negri mengalir dengan lancar ke Indonesia. Peristiwa itu mendapat balasan dari sejumlah kelompok radikal seperti pemboman maupun pembajakan pesawat.

Peristiwa peristiwa itu dijadikan alasan bagi aparat untuk bersikap lebih represif dengan membuat isu komando jihad yang menelan korban sejumlah kyai NU di Jawa Timur. Walaupun ada sejumlah keanehan- keanehan yang tidak terungkap dalam peristiwa-peristiwa teror yang menghebohkan paska peristiwa Priok yang mengesankan adanya rekayasa, bahkan salah satu tersangka kasus peledakan BCA merupakan keponakan Widjoyo Nitisastro yang merupakan arsitek orba.

Organisasi-organisasi formal pada masa itu berusaha mengambil sikap koperatif dengan pemerintah untuk mencegah semakin banyaknya korban , hanya beberapa kelompok saja yang menolak seperti PII dan HMI MPO juga sebuah ormas yang baru lahir seperti BKPMI (1978).

Melihat semakin ditekan kekuatan-kekuatan radikal Islam malahan semakin melawan maka pemerintah melalui intelejennya menggunakan teknik seperti yang dilakukan CIA untuk melawan gembong obat bius di Amerika Selatan yaitu dengan cara tidak mengeliminirnya secara total melainkan dengan cara mengontrolnya. Karena dengan anggapan bahwa dengan mengeliminir sebuah potensi konflik malahan akan melahirkan potensi konflik lainnya sehingga malahan meningkatkan instabilitas , karena itulah potensi konflik itu akhirnya dipertahankan dalam batas dimana pemerintah memiliki akses untuk mengontrolnya.

Seiring dengan diberlakukannya NKK/BKK sejumlah ormas kepemudaan/ mahasiswa yang selama itu berbasis di kampus menjadi tersingkir. Salah satu pergerakan Islam yang kemudian memanfaatkan hal ini adalah gerakan Tarbiyah yang mengambil model gerakan Ikhwanul Muslimin di Mesir.

Gerakan ini pada mulanya bergerak di rumah-rumah anggotanya dalam sistim sel yang cangih dan sangat tertutup lalu bergerak ke masjid atau mushola-mushola kecil, biasanya dipilih yang terletak di tengah permukiman yang sulit dijangkau karena harus melewati gang-gang sempit setelah itu mereka mulai bergerak ke masjid masjid kampus dan berusaha memamfaatkan pola kaderisasi yang mereka format sesuai dengan metode jama'ah mereka untuk menarik anggota. Pada anggota usroh awal yang bergerak di luar kampus bahasan utama pertama mereka biasanya masalah tauhid yang diikuti bacaan-bacaan wajib dari Said Hawwa, tapi di kampus-kampus nama usroh biasanya diganti dengan nama mentoring dan materinya pun diperlunak walaupun pada akhirnya menuju kesana.

Gerakan ini bahkan terlihat dibiarkan bahkan terkesan dilindungi oleh pemerintah. Penerbitan buku-buku yang memuat tulisan-tulisan dari tokoh-tokoh IM yang diterjemahkan sangat marak, begitu pula kegiatan- kegiatan mereka jarang diusik aparat. Padahal pada masa itu lazimnya sebuah gerakan yang mengatasnamakan Islam selalu mendapat reaksi represif dari aparat.

Gerakan Tarbiyah ini pada masa reformasi menjadi cikal bakal gerakan mahasiswa KAMMI , Partai Keadilan dan gerakan perempuan Salimah. Pada era 90 an seiring dengan bertambah menguatnya gerakan tarbiyah sejumlah harokah Islam lainnya mencoba masuk ke kampus , yang paling utama adalah Hizbut Tahrir dan Salafy. Hizbut Tahrir yang lebih menekankan di bidang politik tapi dengan cara berjuang di luar sistim dikenal beraliran lebih keras dari tarbiyah tapi kurang begitu mendapat dukungan.

Gerakan Salafy dikenal jauh lebih keras dari dua kelompok tersebut. Gerakan Salafy atau lebih dikenal dengan Wahaby merupakan sebuah mazhab ekstrim di kalangan Islam Sunni yang menerapkan aturan-aturan kaku dan keras.
Pada era 80-90 an gerakan ini dipopulerkan oleh sejumlah warga keturunan Arab utamanya dari kalangan yang memiliki hubungan dengan Al Irsyad yang merupakan organisasi warga Arab keturunan non Sayyid. Gerakan ini menjadi terkenal seiring dengan berdirinya Laskar

Jihad. Interaksi harokah-harokah tersebut seringkali menimbulkan friksi bahkan bentrokan-bentrokan di masjid-masjid kampus, karena lazimnya gerakan - gerakan ini hanya mengenal islam secara hitam putih belaka sehingga lebih cenderung untuk konfrontasi dengan kelompok lain di luar mereka. Tapi clash antar harokah tersebut tidak sebesar pemusuhan mereka terhadap organisasi-organisasi Islam yang lebih lama tumbuh di tanah air. Paham yang dianut kelompok tradisionalis islam dituduh hanya mengajarkan fanatisme buta terhadap mazhab dan ketaatan penuh mereka terhadap kaum ulama atau yang sering diistilahkan taqlid buta (bahkan istilah ini sering dipakai untuk menghantam kelompok lain yang tidak sepaham) , sementara kelompok modernis Islam yang dianut ormas besar lainnya dituduh sebagai kepanjangan tangan antek barat yang hendak merusak Islam dari dalam. Padahal kedua paham tersebut memiliki penganut terbesar di Indonesia dan telah berdiri selama puluhan tahun bahkan sebelum indonesia merdeka.

Selain itu kelompok fundamentalis memiliki rasa permusuhan sangat besar pada kaum non muslim utamanya kristen (dan yahudi) yang dibangun melalui penafsiran-penafsiran sepihak terhadap sejumlah ayat- ayat Al Qur'an. Dari sini bisa terlihat bahwa kelompok-kelompok fundamentalis lebih memiliki potensi konflik baik dengan kalangan non muslim maupun kalangan muslim sendiri (yang tidak sepaham). Dan potensi konflik inilah yang dipelihara oleh pemerintah/milter bahkan kalau perlu dimamfaatkan untuk kepentingan mereka bahkan dengan mudahnya bisa dikorbankan begitu saja. Selain kelompok-kelompok radikal dari agama lain seperti Katholik dan Protestan .

Mencermati geliat gerakan mahasiswa di tataran politik nasional sembilan tahun pasca reformasi bisa dikatakan minim partisipasi. Apalagi untuk urusan berkecimpung di dunia poltik praktis, sangat kurang minat. Kenyataan ini diperlihatkan dari banyaknya “golongan tua” yang masih dominan di dunia politik. Tersebutlah nama-nama lawas seperti Susilo Bambang Yudhoyono, Jusuf Kalla, Megawati, Amien Rais, Sutiyoso, Sultan HB X, atau Wiranto. Notabene kesemuanya telah berusia diatas 40 tahun. Tak ada satupun muncul nama baru dari golongan muda yang maju ke kancah perpolitikan nasional.

Fenomena ini tentu lahir bukan tanpa sebab. Ketertarikan mahasiswa kontemporer saat ini cenderung kearah market oriented. Yaitu orientasi yang lebih membawa dampak profit and benefit bagi si mahasiswa itu sendiri. Lain kata, mahasiswa saat ini lebih berpikir soal untung-ruginya ia mengikuti sebuah kegiatan.

Tentu saja hal ini amat kontras dengan tipe gerakan politik mahasiswa pada angkatan pra-kemerdekaan, pasca-kemerdekaan, orde lama dan orde baru. Dimana arah pergerakan mahasiswa waktu itu lebih bersifat nation problem oriented dengan melibatkan massa rakyat.

Meski begitu, saat ini masih terdapat kelompok mahasiswa yang memiliki interest terhadap kajian politik. Mereka ini sebenarnya merupakan kelompok termarjinalisasi dari kaum mahasiswa itu sendiri. Mereka yang peduli ini “bertahan” dan membuktikan “eksistensi” didalam bentuk organisasi-organisasi kemahasiswaan seperti BEM, Senat, BPM, Dewan Kemahasiswaan atau kelompok studi yang berorientasi kepada kegiatan politik.

Isu-isu yang diusung biasanya merupakan isu lokal atau paling banter isu kedaerahan dimana organisasi kemahasiswaan itu berada. Contoh, Aliansi BEM Yogyakarta (ABY) mengusung isu pendidikan. Sementara itu di wilayah lain, perkumpulan organisasi kemahasiswaan di Jawa Tengah mengangkat tema penolakan nuklir. Beda lagi di kawasan Ibukota, isu Pilgub yang menjadi bahan omongan mahasiswa-mahasiswa Jakarta saat itu.

Bila dilihat dari kacamata jurnalistik, isu lokal yang diusung organisasi kemahasiswaan diambil karena tingkat proximity-nya tinggi. Jarak memengaruhi minat individu atau kelompok untuk mengangkat sebuah isu. Isu yang diangkat biasanya mengenai kebijakan-kebijakan kampus. Seperti absensi 75%, naiknya SPP dari tahun ke tahun atau problem ketidakberesan birokrasi kampus.

Selain itu, Gerakan mahasiswa saat ini memiliki kecenderungan memperjuangkan vested interest-nya masing-masing. Misalnya, Senat di sebuah fakultas memperjuangkan kepentingan mahasiswanya. Atau BEM yang mengusahakan kepentingan-kepentingan Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) dibawahnya. Akhirnya malah kesan eksklusif yang justru didapat.

Dampaknya tenaga dan pemikiran kritis mahasiswa kekinian hanya habis tersedot untuk mengurusi masalah-masalah lokal dan internal kampus (meski tidak di semua perguruan tinggi). Sementara isu-isu nasional dikesampingkan atau tidak disorot sama sekali. Akibatnya individu atau anggota organisasi kemahasiswaan tersebut terisolasi pengetahuannya tentang perkembangan politik dunia luar.

Disini gerakan mahasiswa perlu atur taktik dan strategi. Problem ini bisa diatasi dengan cara melakukan pembagian tugas antaranggota didalam organisasi tersebut. Pembagian berdasarkan urusan internal dan eksternal organisasi. Bagian internal mengurusi soal problem mahasiswa dan kampus (bahkan di beberapa lembaga pendidikan tinggi, fungsi ini diserahkan kepada organisasi lain seperti Himpunan Mahasiswa Jurusan atau Himpunan Mahasiswa Program Studi). Sedangkan bagian eksternal bermain pada tataran menjalin relasi dengan organisasi kemahasiswaan ekstra-universiter. Juga membahas isu-isu yang bersifat nation problem oriented.

Jika individu adalah dasar setiap masyarakat, maka Mahasiswa adalah salah satu individu pilihan yang paling banyak kontribusinya di masyarakat, paling dinamis dan berpengetahuan. Masyarakat dapat bangkit bersama gerakan Mahasiswa, sebagaimana masyarakat akan diam jika Mahasiswa melalaikan kewajiban dan peranannya.

Oleh karena itu, masyarakat sangat memperhatikan Mahasiswa, mereka mengamanahkan kepadanya lingkungan tempat ia belajar, mengamanahkan kepada guru atau dosen untuk mendidiknya secara individu di atas landasan aqidah dan memperhatikan aspek jasmani, akal, ruh, perasaan dan emosi maupun secara kolektif dengan memperhatikan masyarakat, bangsa, umat, dan agama dengan integritas dan nilai-nilainya. Mereka juga memberikan segenap apa yang dimiliki kepada para mahasiswa yang tidak lain adalah anak-anak mereka sendiri.

Maka menjadi kewajiban bagi Mahasiswa untuk menjawab tantangan peradaban tersebut dengan memberikan segenap pemikiran, ilmu, dan amal hingga ia maju bersama masyarakat, dan masyarakat berbangga dengan keberadaannya. Hingga pilar-pilar itu menegakkan kembali peradaban Islam yang penuh berkah.

Disadur dari:

http://triajinugroho.wordpress.com/2008/02/10/gerakan-dakwah-mahasiswa-sebagai-pilar-bangkitnya-peradaban-islam/

http://ikhsani.weebly.com/politics.html

Tidak ada komentar:

video